Oleh : Exanta Abdiyanto

Masih tampak jelas senja itu di sepasang mata indah yang sedang basah pada musim kemarau. Didekap erat tubuhku setelah tatap mata tak sengaja di bibir pantai sore itu. Mungkin dia sangat merindukanku, kekasih lamanya. Atau hanya ingin cerita tentang kesibukannya yang rumit. Tapi siapa yang tahu, Dia pun masih belum berucap sepatah katapun. Hanya bahasa pelukan hangatnya yang mampu membuat ombak cemburu.

Wajahnya masih sama cantiknya seperti saat terakhir kita bertemu 6 tahun lalu. Kerling mata yang indah, bibir tipisnya bergincu tebal warna merah gelap, hidungnya tambah mancung, gigi gingsulnya tetap setia menghiasi senyumnya. Hanya saja sekarang kau telah melepas hijabnya. Wahai perempuan yang mempunyai wajahnya berbingkai pelangi. Lelaki mana yang tak akan menyukainya.

“kau nampak kelihatan aneh, Fatimah.” Aku membuka obrolan sambil melepas pelukannya.
“sudah kuduga kau akan melontarkan kalimat itu. Aku sudah bukan Fatimah yang dulu lagi, Jun”
“tahan dulu ceritamu. Kita cari kopi susu kesukaanmu”

Dua cangkir sudah berada di satu meja. Dua insan telah dipertemukan setelah sekian lama.

“aku hilang, Jun!” serunya setelah menyeruput minuman favoritnya semenjak SMA
“maksudmu?”

“aku telah kehilangan segalanya. Aku telah kehilangan diriku”

“hey Fatimah. Apakah kau sudah melupakan aku? Lelaki yang telah bersumpah menunggu kepulanganmu dari negeri sebrang itu”

“aku tak yakin akan tetap memilikimu setelah kau dengar ceritaku, Jun”

“kau benar-benar jadi aneh. Ayolah Fatimah. Aku tetap setia menantimu selama 6 tahun sekalipun kau tak pernah memberi kabar 3 tahun belakangan ini”

“aku benar-benar kehilangan segalanya, Jun” kali ini nadanya mulai meninggi. “aku sudah tak punya apa-apa untukmu” lanjutnya

“aku tak butuh apapun kecuali dirimu, Fatimah. Telah lama aku menanti pertemuan kita”

“aku kehilangan keluargaku. Aku kehilangan kehormatanku sebagai wanita. Aku kehilangan semuanya, Jun. Termasuk Tuhan” selanya dengan penuh emosi

Aku tertunduk. Diam. Tak percaya.

“Tuhan yang selama ini aku yakini sebagai Dzat yang maha penyayang, ternyata hanya omong kosong. Dia telah merenggut segalanya dariku. Begitu tega dia mengambil semua keluargaku hingga aku harus hidup sebatang kara. Sampai akhirnya Dia mengirimkan kepadaku seorang lelaki yang menolongku di negeri sebrang sana. Lelaki yang akhirnya menjadikanku sebagai budak kelaminnya”

“sudah hentikan cerita ngawurmu, Fatimah” Sesak dada ini mendengar ceritanya.

“2 tahun lamanya aku disiksa oleh Tuhan yang kau sembah itu” dia melanjutkan tanpa menghiraukan aku, “hidupku benar-benar hancur. Hatiku pecah menjadi bagian terkecil sehingga mustahil dapat dirangkai kembali. Masa depanku sirna. Coba kau bayangkan betapa menderitanya hari-hariku. Kehormatan yang ku jaga baik-baik untukmu kelak, direnggut oleh lelaki yang diutus oleh Tuhanmu itu. Aku sudah muak. Dia begitu tega kepadaku. Padahal sudah kusembah dia setiap hari. Tapi lihat balasannya kepadaku? Sungguh tidak adil. Mana ada Tuhan macam itu? Jadi ku putuskan untuk memasukkanNya dalam kantong plastik dan ku masukkan Dia dalam kulkas. Biar tahu rasa. Biar tahu rasanya sendiri, sepi, gelap dan kedinginan. Kalau perlu biar sekalian membusuk disana”.

Tersentak hati ini mendengar cerita yang dia sampaikan dengan penuh emosi. Rasanya jiwannya benar-benar terpukul. Tak kusangka wanita yang dulunya lemah lembut dan taat bisa sejauh itu. Fatimah benar-benar hilang. Fatimah telah hilang bersama Tuhan yang dia bunuh dengan tangannya sendiri.

“dan kau, Jun. Aku tetap mencintai dirimu sama seperti dulu. Tak ada yang berubah. Lelaki baik dan taat sepertimu tak pantas mendapatkan wanita sepertiku, Fatimah yang kehilangan…”
Belum selesai dia berbicara kali ini benar-benar ku potong. Telingaku tak tahan mendengarnya.

Dia bukan Fatimah.

“seburuk itukah Tuhan kita sekarang, Fatimah? Tidakkah kau lihat aku sekarang? Tidakkah kau lihat aku sebagai seseorang yang Tuhan kirim untuk menolongmu dari itu semua? Aku mencintaimu karena Tuahan, Fatimah. Aku mencintaimu apapun yang terjadi. Tidakkah kau lihat ini sebagai sebuah jawaban yang kau tunggu? Untuk menjawab semua keraguanmu terhadap Tuhan?”

Dia diam dan menangis. Pipinya yang merona sudah basah. Namun tetap cantik seperti biasa.
“Mari kemari, Fatimah. Datanglah.. siapapun dirimu. Pengelana, peragu, dan pecinta. Mari kemari datanglah. Tak penting kau percaya atau tidak. Mari Fatimah, datanglah. Kami bukanlah caravan yang patah hati. Atau pintu-pintu dari keputus asa-an. Datanglah Fatimah. Meskipun kau jatuh ribuan kali. Meski kau telah patahkan ribuan janji. Mari kemari, datang. Datanglah sekali lagi.

Wahai Fatimah yang kehilangan”.

Akhirnya diam menjawab semuanya. Aku terdiam. Fatimah terdiam. Tak berani menatap. Karena senja telah menghilang dicuri rembulan.