Oleh : Muhammad Fikih Samsul Arifin
Kami bangsa tanpa tanah air.
Kami bangsa yang bertahun tahun terasingkan.
Leluhur kami terdiaspora, nelangsa keseluruh samudera.
Namun, kami masih satu bangsa, bangsa Yahudi.
Namun, kami memiliki bahasa yang sama bahasa yahuden / ibrani.
Kami adalah bangsa yang beragam. Merumput di atas tanah yang panjang dan berjutaan-hektar. Disini beranak pinak generasi kami. Kami bercorak kepala warni-warni, berjenis watak pelangi, bahkan tutur kata kami tidak serupa, namun nenek moyang mengajarkan anak cucunya untuk mendogmakan satu bahasa, yakni bahasa Indonesia. Bahasa konsesi kita bersama.
Kami menerima semua tuhan bertajalli ditubuh ini, menjelma raja sebagai tangan kanannya, menjelma sebagai tanah liat yang dipahat indah, menjelma diantara urat nadi dan kuba-kuba, dan jelmaan jelmaan lainnya yang tidak kami suratkan dalam dongeng yang panjang. bukan berarti lupa, namun pembaca sudah dapat mengambarkan dengan sendirinya tuhan tuhan apa saja yang diakui keberadaannya.
Kami bukan mitos dalam legenda jawa, juga bukan dongeng dongeng simulacra, namun kami gemar mentasbihkannya sebagai senyawa sastra. anda perlu memahami bahwa al-kisah yang selalu dihikayatkan oleh sesepuh tidak semua utopia. Beliau juga memberikan sinyalir bahwa, tanah kami adalah gadis pertiwi yang subur dan tak perna mandul, semua akar tumbuhan dapat menjulangkan pucuknya keudara, melahirkan buah-buah sebagai penyedap rasa, sebagai properti yang indah dibola mata, sebagai obat penyembuh luka, dan sebagai-sebagai yang lainnya. mungkin sebagai ciptaan tuhan? atau mungkin tuhan yang diciptakan manusia? atau mungkin manusia dan tuhan saling menciptakan? Atau mungkin saya sedang bercanda dengan tuhan ?. begitulah jika katanya kekatanya, dunia bisa diciptakan sesuka kita, dan Indonesia bukan hanya katanya, seputar mengenalkan Indonesia, diantara perbincangan kita sebagian terdapat fakta yang membekas ditelinga.
Saat dongeng dalam tradisi sastra lisan kami dapatkan dari petuah, biasanya diwaktu rembulan melangit dan kita terbaring diatas kasur, pada waktu itulah nenek dan kakek mendongengkan suatu masa hingga terbentuk menjadi bangsa, cerita yang panjang dan menarik dinanti nanti sebagai simulasi mantera penjemput mimpi. Singkat cerita saya retas narasi panjang menjadi singkat. konon ada kerajaan yang menjelma tuhan, namun runtuhnya kerajaan ditandai penjajah yang berdatangan, dan bersatunya bangsa inilah yang dapat mengusir penjajah oleh kaum intlek, santri, dan pemuda hingga bangsa ini merdeka terbilang di atas angka 1945.
Namun kami berhenti pada titik kebisuan, tak berkembang, merangkak stagnan. Tumpul kemunduran menyoroti tik tok jarum jam yang diam tak berputar. Antara seperdetik, sepermenit, seperjam, seperhari, hingga beberapa tahun yang lalu terpasung dalam lingkaran besi berkarat-karat Kg. masa ini menjadi tragedi yang tak berdarah, kecelakaan yang tak memakan biaya untuk kulakan batu nisan dan kemungkinan akan terseret panjang, sepanjang perjalanan orang majnun yang takberujung tumpul. Ia, inilah disaat pengaku-akuan terhadap pertiwi mulai menjadi kemalu-maluan yang teramat hina, masih lebih hina dari pelacur yang mempublikkan vaginanya, namun masih berfipir bagaimana keturunannya tidak jatuh dilubang yang sama.
Bagaimana tidak, bangsa yang kaya akan suku, bahasa, agama, adat, budaya, tertimbun diatas tanah yang sama. Mudah diiris oleh bermacam orang yang berbeda namun mereka dari kelompok yang sama (sebagai seorang penjajah), beranak pinaknya penjajah yang berkamuflase secara sempurna. Hanya karena wujud logam yang bernilai sementara kita memilih bersekutu dan menentukan saudara sebangsa sebagai musuh.
Mungkin saat ini deklarasi yang tepat untuk mengenalkan identitas pertiwi, bahwa;
Kami putera puteri indonesia memiliki satu tanah air, tanah air untuk orang asing
Kami putera puteri indonesia memiliki satu bangsa, bangsa yang candu untuk dijajah
Kami putera puteri indonesia memiliki satu bahasa, bahasa yang diatur oleh donatur.
———-Dari sini cerita saya mulai———–
Jadi, nasib ini saya temukan usai meronsen tubuh pertiwi yang terdampa penyakit “patah arang mental bangsa”, disaat diskusi bersama sekawan pemuda di Jember basecamp (salah satu omah organisasi mahasiswa). Kebiasaan kita dalam berdiskusi formulasi duduk melingkar, cangkir kopi berputar, dan cigaret ditangan yang menjadi penyokong pendapat Amoral ketika memisuhi negeri ini tanpa gemetar. Perbincangan kita mulai memanas, diantara asumsi gila yang saling melempar argumen, masih sebagai ucapan yang intersubjektif. Begitulah kita memulainya dengan tradisi langgam dialektika Hegel (tesis-antitesis) terlebih dahulu sebelum menemukan antitesis sebagai konklusinya.
Term yang tepat sebagai sajian malam hari itu, seputar identitas bangsa yang sudah terperinci dalam kolom prolog dimuka. Kita iris dengan pisau analisa nalar filsafat yang mengurainya dari ontologi dan epistimologi- ternyata persoalan aksiologi menjadi identifikasi masalah yang menarik kita pisui.
Bagaimana nilai, moral, etika, estetika, norma, aturan, menjadi penyebab membengkaknya penyakit negara. Sikap carut marutnya anak bangsa semakin irasional untuk dibenarkan. Hukum atau aturan telah menjadi porsi pesanan untuk menjadi diktator bukanlagi sebagai sistem yang mengatur agar teratur. Baik dan buruk tak memperdulikan sanksi ligitasi atau nonligitasi sebagai hal yang esensial melainkan sensasional, yang gampang diciptakan, mudah pudar, hilang, dan terlupakan. Kiranya narasi buruknya tak terpaut ujung untuk dihamparkan.
Mungkinkah ini jenis cinta baru tanpa pujian selain cacian demi segumpal harapan yang lamah diimpikan dalam diam? Atau mungkin kita cukup menonton saja ketika Indonesia diolok-olok oleh tetangga? Atau…….jika tidak kuat menahan malu, tutup muka saja dan palsukan bahsa kita…hahahaha, “ begitulah alur diskusi disaat kawan-kawan berlomba mengandaikan sikap terhadap Indonesia”.
Kalau malu, jangan tutup muka bos, tutup kemaluannya saja “sahut salah satu kawan sambil ngelinting beko (tembakau) tambeng”, sepontan forum menjadi ramai dengan tawa yang terbahak-bahak.
Tidak terasa sudah pukul 02:25 dini hari, dan diskusi sudah mulai ngelantur kemana mana.
Ayo,…ayo,… fokus kembali kawan dengan obrolan kita ini..!!!
Sudah, sudah….sepertinya diskusi kita cukupkan saja, corongan sudah menggemakan ayat dengan lantang dari musholla pojok perumahan, sebentar lagi subuh. Gimana jika kita jemput impian Indonesia dalam mimpi pagi saja.?
Hahaha,,, sepakat bos, sepertinya mimpi kita akan sama. “sekali lagi mereka terbahak-bahak”.
Diskusi telah usai.
Di atas keramik tanpa baju saya terbaring melihat ke atap. masih terngiang dengan ungkapan “kita malu mengaku Indonesia”. Tiba tiba teringat dengan lembaran kertas yang terhimpit diantara buku buku di rak mini milik organisasi. Sebuah catatan singkat buku berjenis siDo yang mengajak sukma kembali ke masa lalu, didalam kelas kuliah, tepatnya bapak Badrus Sholeh pada saat itu yang menjadi dosen saya. Beliau mendikti kita dengan sangat rinci bahwa Indonesia malu mengaku identitasnya, dalam persoalan bahasa saja kita tidak menggunakan bahasa pegon (identitas bahasa), bahasa Indonesia? Bahasa ini pun banyak serapan serapan dari bahasa asing. Hanya tulisan pegon yang menjadi baju identitas Indonesia.
Begitu lebih dekat jika disandingkan dengan bangsa yahudi, kita teramat jauh dalam persoalan mencintai tanah air. “begitu isi dari huruf-huruf yang saya pungut dari penjelasan beliau dan saya himpun diantara garis garis biru yang terbentang di dalam catatan kecil ”
“Kita harus banyak belajar kepada Yahudi untuk mengenali diri ini, mereka sedikit namun memiliki visi dan misi yang sama dengan prinsip kebangsaannya”
Kami bangsa tanpa tanah air.
Kami bangsa yang bertahun tahun terasingkan.
Leluhur kami terdiaspora, nelangsa keseluruh samudera.
Namun, kami masih satu bangsa, bangsa Yahudi.
Namun, kami memiliki bahasa yang sama bahasa yahuden / ibrani.
