Oleh: Tri Erna Maulid Fiana
Perempuan sampai saat ini masih termarjinalisasi oleh mainstream pemikiran bahwa segala urusan luar rumah adalah urusan laki-laki. Perempuan sepertinya tidak mempunyai otoritas urusan di luar rumah, apalagi urusan kepemimpinan. Perempuan seakan terdesak di wilayah pinggiran yang hanya mengurus rumah tangga. Dalam konteks demokrasi dan pemerintahan mestinya tidak ada perbedaan hak antara perempuan dan laki-laki. Karena dalam sistem pemerintahan, yang bergerak adalah sebuah sistem, bukan hanyak fisik semata.
Sangat memprihatinkan, jaman telah sedemikian maju, masih ada pemikiran yang meletakkan perempuan sebagai sub-ordinat laki-laki. Dimana letak keadilan dan kesetaraan gender? Apakah karena dianggap tempat itu adalah tempat ‘petarung’ yang hanya untuk para pria? pemimpin yang mempunyai paradigma berpikir seperti itu akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan para laki-laki. Tak mencerminkan sebuah keadilan gender.
Akan tetapi hal semacam itu sudah tidak berlaku di Jawa Timur. Jawa Timur mampu membuat wajah baru dengan dibuktikan oleh pemimpin-pemimpin daerah di Jawa Timur yang mana 9 dari 38 kabupaten dan/kota dipimpin oleh seorang perempuan, 4 diantaranya calon bupati dan calon walikota terpilih versi KPU untuk pilkada serentak 2018. Bu Khofifah juga dinyatakan menang dalam konstalasi pilgub Jatim kemarin, otomatis power perempuan di Jawa Timur pun bertambah. Dari 10 kepala daerah di Jawa Timur dipimpin oleh perempuan termasuk provinsi. Membuktikan bahwa basis massa di Jawa Timur memunculkan fenomena baru tentang betapa kuatnya kaum perempuan di panggung politik elektoral.
Menurut catatan sejarah, kepemimpinan di negara-negara lain pun banyak memberikan bukti keberhasilan seorang perempuan. Di Pakistan ada Benazir Buto, di Inggris ada Margaret Teacher, dan masih banyak lagi pemimpin-pemimpin perempuan yang mampu dan berhasil membawa negara/masyarakatnya pada kesejahteraan.
Lalu pertanyaannya apakah kaum feminis dan pro gender sudah puas dengan fenomena di Jawa Timur ini?
Secara sekilas memang apa yang jadi cita-cita mulia feminisme sudah tercapai. Faktanya kesetaraan itu belum menyasar seluruh lapisan masyarakat. Kesetaraan dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya tentunya. Seperti para perempuan Pekerja Migran Indonesia atau awam menyebutnya dengan TKI. Jika dilihat sekilas mereka memang telah setara secara ekonomi, perempuan boleh bekerja di sektor publik bahkan sampai ke luar negeri. Tapi jika kita kuliti secara mendalam, mereka masih jadi korban ketidaksadaran gender. Para pekerja migran ini masih sering mengalami ketidakadilan gender, kekerasan seksual di tempat kerja (luar negeri), perdagangan manusia (trafficking), penipuan, pengibirian, kasus kematian, penelantaran, upah tidak dibayar hingga masalah pemulangan kembali atau deportasi.
Diskrimanasi juga terjadi pada jenis pekerjaan mereka, yang masih ditempatkan untuk mengurusi perkara domestik, tak berbeda dengan keseharian mereka di rumah ketika menjadi ibu rumah tangga. Bedanya cuma dikasih upah sama enggak. Di rumah mereka dituntut menjadi pelayan yang baik meski tidak mendapatkan gaji. Karena memang begitu tugas perempuan Indonesia, terutama perempuan jawa, macak, masak, manak.
Problema yang dihadapi para Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang sering disebut pahlawan devisa ini memang sangaat kompleks. Permasalahan PMI sebagian besar berakar dari pra-keberangkatan di dalam negeri atau hulu, khususnya pada proses perekrutan dan pelatihan atau pembekalan. Karena itu upaya mencegah masalah PMI di luar negeri sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pembenahan tata kelola di hulu. Seperti kasus di Kabupaten Jember 5 bulan silam.
Jajaran Polres Jember menggerebek penampungan PMI ilegal di Desa Wonojati Jenggawah. Dalam penggerebekan itu juga berhasil menyelamatkan 4 calon PMI perempuan yang menjadi korban. Yang semuanya warga kabupaten sebelah, Banyuwangi. Menurut polisi yang menjalankan aksinya, penampungan ilegal ini merekrut calon PMI melalui calo atau tekong yang mengiming-imingi gaji besar tanpa ribet, administrasi untuk PMI juga tidak lengkap dan rawan pemalsuan yang berbuntut masalah di hilir/luar negeri.
Dari segala masalah yang dialami Pekerja Migran Indonesia terutama perempuan mulai hulu hingga hilir, selama ini pemerintah acuh dan menganggap hal tersebut bukan masalah prioritas padahal pemerintah juga menikmati devisa dari PMI ini. Seperti yang dirilis CNN Indonesia, Pekerja Migran Indonesia di luar negeri berjumlah 6 juta orang dan memberi Rp70 triliun pada keuangan negara. Pendapatan yang selalu konsisten menyumbangkan pendapatan ke negara setelah migas dan pariwisata. Perlu waktu 13 tahun untuk merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri (UU PPTKILN) yang mana aturan perundangan ini lebih banyak mengatur tentang penempatan pekerja migran dibandingkan perlindungannya, menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pekerja Migran Indonesia yang disahkan pada 22 November 2017 yang memiliki beberapa kemajuan dibanding UU sebelumnya dan memprioritaskan perlindungan. Salah satunya terakomodirnya jaminan sosial bagi pekerja migran ke dalam sistem jaminan sosial nasional atau BPJS Ketenagakerjaan.
Sampai hari ini, saya baru melihat keadilan gender untuk pekerja migran itu terjadi di Krusty Krab. Seperti kita tahu, semua pekerja disana adalah laki-laki, tidak ada satu pun perempuan kecuali anak dari tuan Krab yang sesekali datang membantu. Pertanyaannya, siapakah nama istri tuan Krab dalam serial anime Sponge Bob Square Pants?
