Untuk sebagian orang, tanggal 14 Agustus bisa jadi terlihat biasa-biasa saja. Ia tidak begitu istimewa, atau mungkin kalah pamor dengan tanggal 17 Agustus sebagai peringatan HUT Republik Indonesia. Iya, bulan Agustus tentunya akan selalu didominasi oleh tema-tema besar tentang hari kemerdekaan, sama halnya dengan peringatan hari-hari besar nasional dan keagamaan di bulan-bulan yang lain. Akan tetapi untuk sebagian orang yang juga pernah berkecimpung dalam organisasi kepemudaan, minimal semasa sekolahnya dahulu pernah mengikuti kegiatan ekstrakulikuler tentunya akan merasa familiar dengan tanggal tersebut. Alih-alih melewatkannya, 14 Agustus akan mendapatkan perhatian lebih. Mengapa? Karna 14 Agustus adalah hari lahir organisasi kepanduan terbesar dan satu-satunya di Indonesia, Gerakan Pramuka.

Semenjak diresmikan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 448 Tahun 1961, yang kemudian dikenalkan kepada masyarakat umum pada 14 Agustus 1961 (tanggal ini yang dijadikan patokan di kemudian hari), Gerakan Pramuka dikenal sebagai wadah aktualisasi diri kelompok pemuda (terutama pelajar) dari masa ke masa. Sebelum 1961, Pramuka tidak berdiri pada satu kesatuan. Ia terbagi-bagi dalam beberapa segmentasi organisasi kepanduan yang berafiliasi dengan beberapa ormas dan gerakan politik. Hadirnya organ-organ kepanduan yang tampil secara fraksioner ini memunculkan kekhawatiran akan terjadinya gesekan-gesekan politik praktis dalam sebuah organisasi kepanduan yang diisi oleh orang-orang muda. Maka untuk menghindari itu semua, presiden Soekarno selaku pimpinan tertinggi di Indonesia menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 448 Tahun 1961 yang bertujuan untuk menghimpun semua organisasi kepanduan dalam satu wadah yang bernama Gerakan Pramuka.

Lebih dari setengah abad Gerakan Pramuka berdiri, dan pada hari ini Ia genap berusia 57 tahun. Interval yang hampir menghabiskan waktu enam dekade tersebut secara tidak langsung menunjukkan pada kita semua bahwa dalam proses kesejarahannya Gerakan Pramuka telah mengarungi tiga jaman yang sarat akan dinamika sosial, politik, budaya dan kemanusiaan. Bila kita berbicara dalam konteks Orde Lama, Pramuka mendapatkan tempatnya dalam rangka pemersatuan kelompok pemuda dalam satu wadah dengan tanpa melihat afiliasi organisasi kepanduan sebelumnya yang sangat politis dan primordial. Usaha-usaha semacam ini sangat relevan dilakukan pada zamannya dengan mengingat fakta bahwasanya usia Indonesia yang masih belum genap seperempat abad dan masih dibayang-bayangi oleh potensi separatisme maupun disintegrasi kebangsaan. Memang keputusan Soekarno dalam hal ini dapat dinilai memiliki muatan politis, hanya saja yang membedakan adalah terletak pada goal-nya yang memuat nilai-nilai persatuan dan kebangsaan.

Nuansa yang berbeda bisa dirasakan pada saat rezim mulai berganti. Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto turut merubah peta Gerakan Pramuka. Keterkaitan rezim Orde Baru dengan pembangunan di berbagai lini secara halus menggeser karakteristik kepramukaan di Indonesia. Dari yang segala kegiatannya dilakukan di alam terbuka, bebas dan non-formal, kemudian menjadi terintegrasi penuh pada mekanisme institusi pendidikan. Alhasil Pramuka selalu diidentikkan dengan sekolah sebagai basis identitasnya, Ia kehilangan kedaulatannya baik secara struktural maupun kultural. Sejauh kita melihat, proses seperti ini pada jaman Orde Baru tak ayal merupakan satu dari sekian banyak upaya disipliner pemerintah dalam mengatur berbagai macam organisasi di Indonesia. Teruntuk Pramuka sendiri, pola seperti ini terlihat jelas melalui penyeragaman Pramuka di sekolah-sekolah. Melalui itu semua diharapkan proses transfer nilai dan ideologi รก la Orde Baru bisa diwujudkan dengan maksimal.

Pada era reformasi, Gerakan Pramuka mengalami restrukturisasi. Melalui UU Nomor 12 tahun 2010 dijelaskan secara rinci bagaimana gambaran Pramuka secara umum disertai dengan ketentuan-ketentuannya. Kita tidak akan membahas seperti apa isi detail dari UU tersebut, tapi yang perlu digarisbawahi di sini adalah pada era reformasi pola gerakan Pramuka mengalami penyesuaian yg sesuai dengan konteks zamannya. Restrukturisasi yang kesannya berfungsi sebagai komplementer spirit reformasi itu setidaknya memuat acuan dasar bagaimana mengelola Pramuka di Indonesia yang koheren dengan kondisi maupun problematika Indonesia pada masa kontemporer. Sebagai organisasi yang diisi oleh pemuda yang disokong dengan acuan dasar, infrastruktrur hukum, dan perundang-undangan yang jelas, sudah semestinya Gerakan Pramuka dengan segala historisitasnya untuk menawarkan nilai lebih dalam proses berbangsa dan bernegara.
Hingga detik ini, di usianya yang ke 57 tahun, Gerakan Pramuka masih menyimpan bom waktu yang kita sendiri tidak tahu kapan Ia akan meledak. Persoalan-persoalan yang dihadapi saat ini bukan lagi melulu tentang permasalahan hukum maupun struktural. Para kader Pramuka secara internal juga mengalami krisis multidimensi. Setelah cukup mapan dengan segala kekayaan sejarah payung hukumnya, Ia kemudian kembali dipertemukan dengan persoalan yang bersifat normatif. Pada taraf implementasi, Tri Satya dan Dhasa Darma Pramuka yang kerap kali didengungkan itu akan dipertanyakan. Apakah Ia benar-benar terinternalisasi dalam sanubari para kadernya atau hanya sekedar dijadikan baris-baris frasa tanpa makna yang dilaksanakan untuk memenuhi formalitas seremonial saja. Mari kita cermati penggalan himne Pramuka berikut:

“Kami Pramuka Indonesia, manusia Pancasila,
Satyaku kudharmakan, Dharmaku kubaktikan,
Agar jaya Indonesia, Indonesia, Tanah Airku,
Kami jadi Pandumu.”

Lirik himne diatas nampaknya sudah cukup untuk menelusuri primary objective dari gerakan Pramuka itu sendiri. Keterlibatan para praja muda dalam gerakan ini seakan telah memproyeksikan sebuah purwarupa manusia Pancasila yang secara praksis (dalam konteks kepramukaan) diejawantahkan dalam bentuk Tri Satya dan Dhasa Dharma Pramuka. Secara keseluruhan, harapan akan terciptanya kader Pramuka yang holistik dan paripurna ke depannya mungkin akan menemui batu sandungan kala dihubungkan dengan fenomena globalisasi dan perubahan zaman. Arus informasi dan teknologi yang mengepung kearifan lokal bangsa Indonesia saat ini menjadi tantangan serius bagi insan Pramuka. Hal ini dapat dinyatakan seperti itu ketika kita memahami pada saat nilai-nilai kearifan lokal semakin tergilas oleh roda zaman, maka pada saat yang bersamaan pula Ia beririsan langsung dengan konsep manusia Pancasila yang selama ini diimpikan.

Mungkin ada banyak yang akan menilai bahwasanya asumsi ini sangat klise dan terlalu mainstream, itu benar adanya. Namun ketika kebosanan terhadap sebuah mainstream menciptakan apatisme berlebih, maka niscaya batu sandungan tersebut akan sukses meredam progresifitas kader Pramuka di Indonesia. Hingga saat ini Pramuka masih dipandang sebelah mata, dianggap kontra produktif, tidak progresif, dan kekanak-kanakan. Pandangan ini mungkin yang secara perlahan perlu untuk kita rubah. Sinergitas antar elemen perlu ditingkatkan. Secara eksternal, apresiasi dan penghargaan perlu disuntikkan; sedangkan secara internal, pembangunan karakter dan implementasi nilai-nilai kepramukaan sekali lagi harus digalakkan.