Oleh: Muhammad Sufyan

Kunyari-nyari

Seperti bintang di langit malam; berpasang-pasangan
entah dengan bulan; sepi menyusuri sudut-sudut jalan
mencari-cari gemerlap kerlip lampu kota
namun yang ditemukan hanya sisa sia-sia
berjalan menyusuri sungai
mencari-cari kekasihnya yang mangkat ke samudera
mencari kekasihnya yang bercinta di bawah bulan purnama-
saat itu, saat kau duduk berdua denganku di pinggir kota yang pengap ini

; seperti bulan memancar pada gelap, seumpama bintang bercinta disetiap gelap

jangan gugur kau jadi senyumku yang boleh gugur hanya otakku yang tak mampu memikirkan senyummu di dekat kampus yang penuh dengan pohon rindang itu.

Dilipat Keadaan

Singkatan kata menjadi sajian utama pagi ini,
beberapa kekuatan matahari mengocok perawanku mengoyak secangkir sukma yang mengalir di bawah samudera hidupku
silahkan tumbuhkan jalan sepi tak beraspal, pasti esok akan menjadi perbincangan manusia
disaksikan tanah bernyawa
aku sangsi di gorok abu dan debu, mengguyur kata, mengguyur derita.
Lalu halaman di sekelilingmu tampak rapi bertabur emas
Sekarang matahari mulai meninggi
orang-orang sedang ditiduri waktu dan manusia sedang meniduri jam, entah sampai kapan mimpi-mimpi usai.
Mari bersila kembali saudara! Membaca Indonesia
Sambil menikamti secangkir kopi yang akan tidur di bibirmu.

Simpan

Ketika aku tak menemuimu dalam alamku
Aku bersila memandang waktu
Sampai kapan engkau guru
Sampai kapan engkau tau
Sampai kapan engkau batu
Sampai kapan engkau kayu
Sampai engkau guru
Sampai engkau tau
Sampai engkau batu
Sampai engkau kayu
Maka kenalilah ilmu
Agar engkau tau
Maka kenalilah air
Agar engkau tau batu
Maka kenalilah api
Agar engkau tau kayu.

Birahi di hadapan senja

Bersama biru gelap dipopor empat puluh tiga krak emas di kala senja waktu itu, saat ranum bumi berhambur datang mendekatiku. Beginilah kejadiannya;
Kuawali dengan muara mata perempuan yang muaranya tak menemukan garis tepi
yang panjangnya tak bisa terukur,
tak berbatas dan tak bisa tertebak arahnya
Mata perempuan memiliki empat puluh lusin (lebih) pandangan dan pertimbangan-pertimbangan, entah memandang apa saja termasuk melihat arah angin berlabuh. Perempuan memiliki rasa indera yang peka tak bisa sembarang ditempuh kulit-kulit lawan jenisnya.
Senja awal bulan menyingsing separuh badanku, empat mata bersemenanjung di pinggir pantai
Disanalah kumulai bercinta dengan penuh gairah
Dengan sejenak bebas dari kungkungan kota yang pengap ini
Dengan sejenak melupakan kopi bajawa yang kuracik pagi tadi itu.

Kehendak matahari yang berlebihan

“Pakaian saya sudah kering. Cuma AC di gedung itu yang selalu dingin, tuhan”
Panas dirasakan berbagai kulit di atas bumi kota ini
sekarang matahari tak memilih wilayah untuk meneriakkan panas-nya
Kota dan desa sama saja, sama-sama memiliki suasana panas,
sama-sama keluar liur keringat,
dan sama-sama di atas bumi kota ini
Entah apa yang pantas kupertanyakan di musim keringat ini
jika dilihat dari bangunan-bangunan pabrik memang banyak berdiri
jika dilihat dari pohon-pohon memang banyak ditumbangkan
jika dilihat dari sungai-sungai, alirannya lancar-lancar saja (walau banyak sampahnya)
Desa dan kota saat ini sudah hampir tak ada gelas pembeda
Mol-mol sam-sama menjulang megah
Kebutuhan? Sudah hampir sama-saja
Yang berbeda mungkin akan tinggal wajahnya dan sifatnya

Nelayan

Pagi ini cerah, nelayan mulai berdatangan
Dari menangkap ikan semalaman
Semalaman di tengah lautan luas
Berpisah dengan keluarga, tidur beralas samudera

Ombak setiap kali mengharap lepas pada pantai
Ombak setiap saat bergerak dan nelayan harus menyesuaikan
;dalam menahkodai kapalnya

Pagi ini sedikit cerah
Kudapati senyum kering saat hasil ikan tak mencukupi
;mau bagaimana lagi? Ini sudah pemberian tuhan, mungkin besok hasilnya memuaskan
(gerutu nelayan itu)

Pagi kali ini
Nelayan tak pernah memiliki keputus asaan
Nelayan selalu berjalan kedepan
Sekalipun bekerja di laut dengan hasil yang tak memberi kepastian

Indonesia diisi dengan nelayan dan petani.