Oleh: Eka Safitri

Pada saat kemarin, setelah lama waktu bersua. Ibu-ibu berdaster itu, selalu membicarakan tumbuhan bambu yang semakin rindang di tikungan jalan. Aku suka duduk bersama mereka di emperan dekat warung bu Iyem menunggu kakang penjual sayur datang. Aku suka mendengar daun bambu kering jatuh berserakan, bersama gumpal kenangan yang tertancap dalam duri bunga mawar.

Ibu-ibu pakai daster suka menggosip dan sesekali tertawa tentang langit yang suka manyun. Tentang rindu mereka kepada lelakinya yang tak kunjung datang setelah beberapa purnama. Mereka suka berlayar, menerjang ombak diantara gemintang yang terang beserta angin beliung yang tak terlalu ramah. Mereka datang dengan sempak dan sarung diselempang, menenteng ikan hasil tangkapan sehari semalam. Ibu-ibu suka lari menolong lakinya. Langsung ke dapur, membelah ikan, dan menggorengnya dengan resep ala kadarnya.

Suatu sore, tukang sayur datang bawa jualan yang masih banyak. Ia menunjuk-nunjuk langit yang gelap sejak pagi. Matanya berbinar. Bayam dan kangkungnya agak layu, ulat kecil menggeliat-geliat di dalam plastikan cabe harga seribu rupiah, air minumnya hanya tinggal botolnya. Ia diam tak mengoceh seperti biasa. Bibirnya bungkam. Sorot matanya kecut. Dahinya mengkerut. Aku sampai rindu dirinya tanpa henti menawarkan dagangannya. Kembali si Ibu-ibu daster datang lagi. Kali ini tidak lagi berdaster. Mereka sejenak mengganti gelar menjadi ibu-ibu jaket dengan make up makmisal. Dingin sore itu bikin menggigil. Aku kembali menghampiri mereka. Mereka bungkam tak mengoceh. Nampaknya dingin mampu menjadi bumerang untuk kelunya lidah para penggosip handal itu. Haw.. tapi angin hanya tinggal dingin. Kenangan tetap tinggal mendalam. Sampai ujung dari ujung bahkan sampai hulu tetap bekas.

Pernah beberapa waktu, mereka menyinggung tentangmu selepas melintas di tikungan dekat warung. Katanya senyummu manis, hingga semut seperti mereka pun tertegun melihat. Mereka suka berkerumun kalau kau datang sepintas saja. Apalagi malam itu dengan nakalnya kau datang bawa seikat bunga dan cokelat batang ke rumahku. Sengaja kau titipkan pada mereka yang asyik menggosip. Kau tau? Selama dua hari pengertian dariku mereka abaikan. Mereka diam dan tampangnya garang kepadaku. Haha. Sangat lucu bukan? Pesonamu sampai dapat memecahkan persaudaraan. Tapi selepas itu mereka sadar, bahwa ada laki-laki yang lebih dicintainya dan tengah berperang melawan ombak, yaitu Suaminya.

Akhir-akhir ini mereka sering menanyakan kabarmu. Sebab telah dua kali purnama kau tak melintas lagi. Tak ada sengajamu untuk membuat mereka cemburu serentak. Kau kemana katanya. Aku tak tahu. Benar. Sebab datangmu malam itu terwakilkan bunga dan cokelat. Astaga !!

Aku lupa pada tulisan di dalamnya. Surat kecil darimu yang masih rapat. Masih terlipat kertasnya.

~ Padamu perempuan dengan tawa yang candu, sayangnya aku tak dapat menatapmu lebih lama. Dan membuat ibu-ibu berdaster itu cemburu dan menjauhimu. Haha. Salam kenal. Mr.X

Hormatku padamu, wahai laki-laki yang telah mengenalku jauh setelah Nuh memahat kayunya. Jauh setelah ombak tenang dari amukannya yang dasyat. Jauh setelah benih jagung tumbuh dan ditumbuk sampai halus, dan jauh atas kesadaran diri yang selalu mengetuk hati untuk mulai mencoba dan membuka pada yang lain setelah waktu tercabik-cabik oleh keadaan. Kau harus bangkit seperti kokohnya pegunungan dan hebatnya para pendaki sampai puncak. Kau harus menanamnya tepat di dahi. Supaya dapat terjamah mata, tersentuh tangan, dan mencium sajadah kala malam ditengah sunyi. Andai malam masih menyisakan sedikit cahaya pada rembulannya, mungkin tak akan jadi kenang. Tapi kenal. Salam teruntuk ibu-ibu daster penunggu suami menghajar ombak laut tengah tempatmu berada. Bawa ikan, dan mengenyang perut. Datanglah pada saat rembulan tepat ditengah laut. Pada saat itu, aku suka melihat pantulan cahaya tepat pinggir pantai selatan tikungan pohon bambu.