Oleh: Muhammad Sufyan
Dari jarak jauh ingin kunyatakan; “kamu adalah sepenggal gizi dari sorga, menyehatkan!”
Malam itu adalah malam yang sangat mengindahkan, kelelawar-kelelawar menyempit hadir di sudut pojok mimbar jalan, mengintip mangga matang. Malam itu adalah malam yang menyemangatkan, empat puluh satu ribu lusin lebih bintang di langit berlabuh di kelopak matanya, menyambut alis tsabit yang tertanam di atas mata burung hantunya itu. Perempuan itu pemilik tawa yang mengalun merdu, saat perlahan-lahan bibirnya terbuka matanya menipis. Tamatlah hidup ini! Dengan cahayanya, ia membabat gelap di tatapan kosong laki-laki.
Malam itu- aku lanjutkan minum kopi di suatu café yang sudah hangat, bikinan dari barista yang umurnya tak terlalu tua, rasa kopinya agak kecut dikit-dikit ditambah dengan rasa pahit bercampur dengan rasa manis, lalu setelah satu seduhan kulahap, tiba-tiba diluar gerimis, aku teringat kepada petani yang tanahnya kering lantaran tak kunjung hujan
“Bagaimana rasa gembira yang mereka terima ketika gerimis dan hujan turun mengguyur tanamannya di ladang?”.
“Mungkin seperti kegembiraanku saat memandang daun bibirnya terbuka pelan-pelan”
“Mungkin tak dapat bisa dibayangkan, bagaimana semestinya kesehatan itu muncul dari hujan dan dua katup bibirnya yang ramah”
Malam itu- kopi yang kuseduh tadi sudah mulai dingin, persis seperti cuaca saat ini; dingin bercampur gigil. Empat kursi yang tak terisi, satu meja yang hanya ditumpu segelas kopi ditambahkan sebungkus kretek lengkap dengan koreknya.
Malam itu- aku sambil membaca sebuah buku dari Robert Sibarani; antropolinguistik. Kala itu aku masih berada di halaman duapuluh empat yang masih berbicara tipe kebudayaan , pelan-pelan kulanjut membaca. Sampai di halaman dua puluh lima pada sub bab revitalisasi kebudayaan Indonesia, disana kutemukan bagian penting yang mengutip pemikiran Soekarno Presiden pertama Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
“Berkepribadian dalam kebudajaan! Apa yang lebih indah dari pada ini, Saudara-Saudara? Bukan sadja bumi dan air dan udara kita yang kaja-raja, djuga kebudajaan kita kaja-raja. Kesusastraan kita, senirupa kita, senitari kita, semuanya kaja-raja. Djuga untuk membangun kebudajaan baru Indonesia, kita memerlukan sjarat yang diperlukan. Kebudajaan baru itu harus berkepribadian nasioanal jang kuat dan harus tegas-tegas mengabdi kepada Rakjat. Dengan menapis jang lama, kita harus mentjiptakan jang baru. Sikap kita terhadap kebudajaan lama maupun kebudajaan asing adalah sikapnja revolusi nasional-demokratis pula: dari kebudajaan lama itu kita kikis feodalismenja, dari kebudajaan asing kita punahkan imperialismenja. Maka itu tepat sekali film-film imperialis Inggeris dan A.S diboikot, djuga tepat sekali pemberantasan musik beatle, literatur pitjisan, dansa-dansi gila-gilaan, dan sebagainja. Pada panji kebudajaan kita tuliskan dengan tinta-emas K-nja Usdek kita!. Kebudajaan kita haruslah kebudajaan jang revolusioner, Jang seperti kukatakan pada Sala tempohari harus mendjadi “duta masa dan duta massa”. Kita bukan hanja “trahing kusumo, rembesing madu”, tetapi kita djuga “trahing buruh-tani-lan-pradjurit, rembesing revolusi!”.
Malam itu- kulihat keluar jendela, gerimis yang tadi berserakan di genting-genting dan batako-batako café sudah sirna. Kopi yang tadi mulai dingin, sekarang tinggal ampasnya. Senyumnya yang daritadi jadi misteri masih bergentayangan.
Ia bernama Wandani, perempuan yang berjumpa denganku tak jarang-jarang, pertemuan terkahir dari sekian kali perjumpaan, dia menelan sebiji kopi hangat yang baru saja selesai di sangngar. Bapaknya seorang guru di sekolah, ibunya mengurus rumah.
Kemudian waktu berubah dengan derasnya, engkau merayap bak cicak di dinding menghampiriku saat duduk santai di suatu café yang dipenuhi orang-orang ompong sedang menegak kopi. Orang-orang ompong itu adalah penegak kopi yang hanya menegak kopi tanpa ada rasa pasti tentang bagaimana suatu café dijadikan pelarian untuk mengeja alphabet-alphabet yang prei di bangku-bangku sekolah/di bangku kuliah. Kota ini digerayangi warung-warung kopi/café. Dari sudut ke sudut-sudut paling sempit bisa dipastikan ada berjuntai café – café, dari kelas asyik sampai kelas paling asyik.
Kopi di hadapanku sudah purna, ingin rasanya kupesan segelas lagi tetapi café itu sudah menutup pesanan, sebagian lampu sudah dimatikan, bunyi knalpot yang ramai sudah digantikan bunyi klakson yang deras dari kereta api. Malam ini hening, langit tenang, bulan dan bintang cerah, lampu-lampu di pinggir jalan kota makin terang benderang, bunyi sendok dan gelas barista yang tak terlalu tua itu sudah lirih, para penyeduh kopi sudah berbondong-bondong pulang, gerbang café telah tertutup separuh, cerita ini juga mulai surut, kututup bukuku di halaman dua puluh enam, dan kumasukkan ke dalam tas. Sedangkan senyummu itu masih tetap bergentayangan.
“alamat tak bisa tidur nih aku”
“katanya si, kalau minum kopi agak dipahitkan akan susah tidur, apalagi ditambah dengan senyummu yang tak palsu, senyum yang tak seperti senyum yang terpampang di bener-bener di pinggir jalan, entah itu kota atau desa, dimana-mana tersenyum-pasti tersenyum”.
Malam ini sudah mulai dingin banget, biarkan cerita ini hinggap begitu saja, bergelantungan di pohon jambu paling pucuk, biar tak memperdulikan hal-hal yang akan membuat rumit masa yang akan datang, biarlah merumitkan senyumnya saja.
“Senyum Wandani dan Kopi yang Tak Habis-Habis” cerita kelanjutannya..